Senin, 30 Maret 2015
Argosari, Sebuah Pilihan Sepadan
Daya pikat Bromo sebagai sebuah tujuan wisata sungguh luar biasa. Tahun 2013 jumlah wisatawan yang berunjung sekitar 350.000 orang. Tahun 2014 jumlah tersebut diperkirakan meningkat sebesar 5%. Namun pihak Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru memprediksi jumlah wisatawan hingga akhir tahun 2014 akan mencapai 550.000 orang.
Sebuah angka yang luar biasa mengingat sejak bulan Mei tahun 2014 ini pemerintah daerah menaikkan tarif masuk ke taman nasional tersebut dan sempat mendapatkan protes keras dari kalangan pelaku bisnis wisata disana. Harga tiket masuk kawasan TNBTS di hari biasa bagi wisatawan nusantara naik dari Rp 10.000 menjadi Rp 37.500 per orang atau naik 275 %. Tiket masuk di hari libur lebih mahal lagi, naik dari Rp 10.000 menjadi Rp 67.500 per orang atau naik 575 %. Bagi wisatawan mancanegara tiket masuk hari biasa dari Rp 72.500 naik menjadi Rp 267.500 per orang atau naik 269 %. Tiket masuk di hari libur dari Rp 72.500 naik menjadi Rp 640.000 atau naik 783 %. Sungguh sebuah kenaikan tarif yang luar biasa, meskipun pemerintah daerah berdalih itu diperlukan untuk menutup biaya perawatan taman nasional yang sangat tinggi.
Naiknya jumlah kunjungan wisatawan memang membuktikan naiknya tarif masuk tidak berpengaruh pada arus wisatawan. Para wisatawan rela merogoh kocek lebih dalam untuk bisa menikmati keindahan alam yang unik ini.
Namun oleh sementara kalangan, berwisata ke Bromo dinilai menjadi terlalu mahal. Mengingat kita juga mesti menyewa kendaraan khusus untuk masuk ke wilayah taman nasional. Sewa mobil jeep yang mencapai Rp 750.000 sudah barang tentu tak semua kalangan mampu menjangkaunya meskipun biaya tersebut ditanggung bersama. Belum lagi jika harus ditambah biaya penginapan, makan dan transportasi menuju kesana.
Besarnya jumlah yang mesti dikeluarkan untuk menikmati panorama pegunungan yang didiami suku Tengger ini membuat para pelancong mencari alternatif. Tujuannya sudah barang tentu untuk menikmati pemandangan Bromo dengan biaya yang lebih terjangkau.
Pilihanpun jatuh pada desa Argosari yang berada di wilayah kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang. Desa yang berjarak sekitar 30 km dengan waktu tempuh sekitar 3-4 jam dari pusat kota Lumajang ini menawarkan akses bagi anda untuk bisa menikmati alam Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dengan biaya yang relatif lebih murah dibanding kita masuk via pintu utama di desa Ngadisari. Desa yang masuk dalam wilayah Kabupaten Probolinggo.
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru sendiri secara administratif masuk ke wilayah Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Malang,Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Probolinggo.
Argosari adalah sebuah desa kecil yang berada di ketinggian sekitar 2500 meter dari permukaan laut. Mayoritas penduduknya yang juga adalah suku Tengger ini hidup dari pertanian. Berbeda dengan suku Tengger di Ngadisari yang mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Hindu, penduduk di Argosari mayoritas adalah pemeluk agama Islam. Catatan terakhir di bulan November 2014, jumlah penduduk yang beragama Hindu sebanyak 11 orang dari total 3.350 orang penduduk desa Argosari.
Profil penduduk desa Argosari juga tak ubahnya penampilan saudara-saudara mereka sesama suku Tengger di Ngadisari dan Ranupane, dimana sarung adalah bagian yang lumrah dalam berpakaian. Sarung seolah tak pernah lepas dari tubuh karena berfungsi sebagai pengusir hawa dingin.
Berada di ketinggian 2000 mdpl, Argosari termasuk desa tertinggi di Indonesia. Sudah barang tentu desa yang memiliki luas wilayah 56,05 km persegi ini senantiasa berhawa sejuk di siang hari dan dingin di malam hari. Siang hari suhu disana berkisar pada 20-22 derajat celcius, dan pada malam hari konon mencapai 10 derajat celcius. Pada saat puncak musim kemarau embunpun bahkan bisa membeku laksana es serut.
Sebagai pintu gerbang pilihan untuk menikmati indahnya panorama taman nasional yang luas wilayahnya sekitar 50.276,3 ha ini, Argosari sangat menarik untuk disinggahi. Selain beriklim sejuk dan lebih sering diliputi kabut, panorama disekitar desa yang berbukit bukit amat memanjakan mata. Meski dibeberapa titik telah berubah, dari sebuah bukit yang rindang dengan pohon Pinus kemudian beralih rupa menjadi perkebunan sayur mayur.
Bagi anda yang lebih memilih berwisata ke Bromo dengan biaya murah, Argosari memang pilihan utama. Tiket masuk per orang hanya dikenakan Rp 5000. Bila anda memilih untuk menggunakan transportasi ojek biayanya berkisar di Rp 50.000-Rp 60.000 rupiah pulang pergi dari batas desa. Bila dari pusat desa biaya ojek bisa dua kali lipat. Dengan waktu tempuh sekitar 30 menit. Bagi anda yang tak keberatan untuk menempuh perjalanan dengan berjalan kaki bersiaplah menyisihkan waktu sekitar 60 hinga 90 menit.
Ketika anda memutuskan menginap, anda tak perlu khawatir memikirkan tarif. Tarif menginap disana sangat sesuai dengan kemampuan kantong yang pas-pasan. Rata-rata pemilik rumah yang kita sewa akan mengenakan biaya per orang di kisaran Rp 50.000 saja. Itupun sudah termasuk biaya makan sebanyak dua kali. Cukup murah dan terjangkau.
Titik dimana kita bisa menikmati kaldera Bromo dan Gunung Semeru via Argosari dinamakan B29 atau Bukit 29. Dinamakan begitu karena menurut penduduk titik tersebut adalah sebuah bukit yang memiliki ketingggian 2900 meter dari permukaan laut.
B29 secara geografis berada di sisi Timur Ngadisari. Di pagi hari bila pandangan kita menghadap ke kawasan Bromo maka matahari akan berada di belakang kita. Sebuah posisi ideal bila kita hendak mengabadikan momen dengan menggunakan kamera.Namun kekurangannya adalah letak Gunung Semeru yang berada jauh ke Selatan. Akibatnya kita tak bisa memposisikan Gunung Semeru, Gunung Bromo dan Gunung Batok dalam satu frame. Kondisi seperti itu hanya bisa didapat bila kita mengambil gambar dari Penanjakan, Ngadisari. Dari Penanjakan kita bisa memposisikan tiga gunung tersebut dalam satu garis lurus vertikal. Meski dengan kondisi demikian kecantikan Bromo tak juga berkurang.
Sejatinya tak jauh dari B29 ada sebuah bukit lagi dengan posisi lebih tinggi dan lebih strategis untuk menyaksikan keindahan Bromo. Penduduk disana menamakannya B30. Dengan posisi yang lebih tinggi dan sedikit mengarah ke Utara, maka bisa nampak oleh kita desa Ngadisari berikut Penanjakan. Lebih dari itu kita akan mendapati gunung Semeru yang posisinya jadi lebih dekat dengan pegunungan Bromo. Dari sisi fotografi komposisi yang ditawarkan oleh B30 terasa lebih baik dibanding B29.
Seperti juga bila kita masuk lewat gebang utama di desa Ngadisari, waktu terbaik untuk menyaksikan keindahan Bromo adalah saat subuh menjelang. Keindahan suasana kala matahari terbit tak kalah indah dan syahdunya dengan bila kita menikmati via Penanjakan.
Ketika sinar matahari mulai menerangi lembah maka kita akan segera takjub dengan hamparan kabut yang laksana selimut besar menutupi kaldera Bromo. Putihnya hamparan kabut berpadu dengan pegunungan yang menghijau kemudian diwarnai pula dengan langit jernih membiru. Nun jauh disisi Selatan, puncak Mahameru berdiri gagah diantara perbukitan dan kabut. Seolah tak ingin kalah memamerkan keindahannya.Sebuah keindahan harmoni alam yang membius siapapun yang berada disana.
Keindahan tak henti sampai disitu, bak menyaksikan sebuah orkestra, setelah kita dibuai harmoni dalam irama dingin, kita kemudian disuguhkan harmoni yang bernuansa lebih hangat. Ketika cahaya matahari yang lembut dan berwarna kekuningan mulai menyinari puncak-puncak gunung kemudian turun merayap perlahan mengusir kabut yang menjadi selimut Bromo, maka decak kagum kita akan keindahan itu tak akan putus terucapkan.
Terangkatnya kabut karena hangatnya sinar matahari kemudian menghadirkan detail setiap sudut kaldera Bromo. Lembah yang sejatinya adalah kawah purba itu begitu menawan. Hamparan padang rumput dan pasir, garis-garis punggungan bukit dan cerukan lembah, ditambah dengan asap dari kawah Bromo yang selalu setia membumbung tinggi berpadu dalam sebuah bingkai. Begitu membius, hingga udara dingin yang menusuk tulang seolah tak dirasa dan membuat kita enggan untuk segera beranjak pulang.
Meskipun berat kita memang harus melangkah pulang, namun bagi anda yang masih ingin memanjakan mata, atau mengabadikan keindahan alam lewat kamera jangan khawatir. Dalam perjalanan kembali ke desa kita akan disuguhkan pemandangan berupa perkebunan dan aktifitas para petani yang tak kalah mengasyikkan.
Perkebunan yang didominasi tanaman kentang, kol dan bawang ini terhampar sepanjang perjalanan kembali ke desa. Sangat menarik karena di beberapa bagian ladang-ladang sayuran tersebut memiliki sudut kemiringan yang lebih dari 50 derajat. Bagi kita kondisi itu amat curam dan terjal serta akan menimbulkan rasa ngeri, namun bagi penduduk desa Argosari itu adalah hal yang biasa. Namun rasa ngeri akan segera teralihkan bila kita menyaksikan keasyikan para petani yang bekerja sementara nun dibawah sana awan putih terhampar luas. Dalam pandangan kita mereka seolah berada diatas awan.
Dibelahan bumi nusantara ini, tipikal penduduk desa adalah orang-orang yang ramah. Tidak terkecuali dengan penduduk desa Argosari. Keramahan dan kehangatan senyum saat berbincang dengan kita akan menghangatkan udara dingin yang kita rasa. Meskipun kehadiran kita akan mengganggu irama kerja mereka namun tak sedikitpun terlintas keberatan di wajah mereka saat kita berbincang-bincang. Malah senyum di wajah mereka senantiasa tersungging kala meladeni setiap keingintahuan kita.
Melangkah pulang dari B29 ataupun B30 sungguh akan terasa berat. Keindahan suasana disana seolah magnet raksasa yang membuat keinginan kita untuk pulang menguap. Begitupun saat kita melangkah pulang dari desa Argosari. Kedamaian berada ditengah penduduk yang ramah seolah membuat kaki tertancap hingga enggan melangkah pergi. Ketika para penduduk desa mengiringi kepulangan kita ditengah kabut yang mulai turun dengan lambaian tangan disertai senyum yang tulus sungguh akan terbersit satu tekad bahwa kita ingin kembali lagi kesana.
Bumi nusantara ini begitu kaya dengan tempat-tempat yang indah ditambah dengan budi luhur para penghuni desa sekitarnya. Argosari hanyalah satu dari sekian banyak tempat hingga sulit kita sebutkan satu persatu. Namun Argosari sebagai alternatif utama untuk menikmati keindahan kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dengan biaya yang lebih murah patut kita tempatkan pada urutan teratas. Meski lebih murah, bukan berarti apa yang kita dapat adalah murahan. Panorama kawah Bromo dari manapun kita memandang sungguh akan sama menakjubkannya. Sebagai sebuah pilihan, Argosari, desa yang kerap dijuluki sebagai Negeri di Atas Awan ini adalah pilihan yang sepadan.
Naskah : Erry M Subhan
Minggu, 29 Maret 2015
PULAU MOYO, Sebuah Keindahan Alam nan Alami.
Keheningan diatas perahu kayu yang didominasi suara mesin tiba tiba berganti dengan suara riuh penumpang. Beberapa penumpang di bagian buritan berteriak kegirangan sambil menunjuk ke sebuah titik tak jauh dari sisi kanan kapal. Serentak pandangan penumpang yang lain mengikuti arah yang dituju. Rupanya ada sekawanan Lumba-Lumba yang sedang berlompatan. Tak pelak atraksi sekelompok mamalia laut itu menimbulkan keceriaan bagi seluruh penumpang dengan kesan yang mendalam.
Itulah sekelumit cerita yang didapat sepanjang perjalanan dari Sumbawa Besar menuju sebuah pulau di sisi utara pulau Sumbawa, pulau Moyo. Cerita seru itu menjadi pembuka untuk sebuah pengalaman yang mengesankan saat mengunjungi pulau yang menawarkan keindahan alam nan alami ini.
Bagi sebagian orang, nama pulau Moyo mungkin terdengar asing. Seperti keberadaannya nama pulau ini memang nyaris terisolir. Nama pulau ini terisolir dari nama nama besar pulau yg ada di Indonesia, sementara keberadaannya terisolir dari hingar bingar dunia pariwisata Indonesia. Meski disana berdiri sebuah resort untuk kalangan jetset.
Pulau yang termasuk wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat ini, seperti juga halnya pulau pulau lain yg sudah lebih dulu terkenal, ternyata menyimpan keindahan dan potensi wisata yang tak kalah dengan pulau lain. Pantai, padang Savana, hutan Tropis, air terjun, sungai, serta kehidupan penduduk asli pulau ini, punya daya tarik tersendiri. Sungguh kita akan mendapat kesan yang amat sulit dilupakan bila kita menyambangi pulau yang dijadikan suaka margasatwa sejak jaman Belanda ini.
Dengan luas daratan yang mencapai 350 km2, pulau Moyo memiliki keunikan tersendiri. 22.000 Ha dari luas yang ada, oleh pemerintah melalui Menteri Kehutanan dan Perkebunan, dijadikan sebagai Taman Buru. Disini penggemar wisata buru dapat menyalurkan hobi dengan memburu hewan yang telah ditetapkan sebagai hewan buru, seperti Rusa Timor ( Cervus Timorensis), Sapi Liar ( Bos Javanicus ) dan Babi Hutan ( Sus Sp ).
Untuk jenis unggas, kita akan dapati burung Kakatua Jambul Kuning ( Caccatoa Sulphurea ), Burung Gosong ( Megapodius Reinwarditi ), Beo Sumbawa ( Gracula Religiosa Venerate ), Punglor (Zoothera Sp ), Elang Bondol ( Haliaster Indus ) serta tak ketinggalan Ayam Hutan ( Gallus Sp ). Ada juga burung yang jadi primadona masyarakat sekitar, yakni burung Bertong. Konon burung ini menyimpan telurnya didalam tanah hingga mencapai satu meter, kemudian ditutupi oleh ranting dan dahan. Begitu rapihnya hewan ini menutupi telurnya, hingga masyarakat percaya bahwa untuk menutupi telurnya, burung ini dibantu oleh malaikat.
Hewan jenis unggas tentu saja tidak termasuk hewan yang boleh diburu, sesuai dengan peraturan pemerintah melalui SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI nomor : 308/KPTs-11/1986 tentang taman buru dan wisata alam laut.
Layaknya pulau dengan potensi wisata yang belum berkembang, di Pulau Moyo memang belum ada penginapan seperti hotel ataupun cottage. Namun jangan khawatir, penduduk Desa Labuhan Haji telah menyiapkan rumahnya sebagai guest house sebagai persinggahan kita dengan tarif yang bersahabat . Yang menguntungkan adalah tarif menginap sudah termasuk makan. Jadi kita tak perlu pusing dengan urusan mengisi perut. Tapi bagi anda yang tidak menyukai atau tidak bisa menyantap menu mahluk air sebaiknya konfirmasi pada pemilik guest house. Karena layaknya desa di pesisir pantai, menu ikan laut adalah menu yang paling menjadi andalan untuk disajikan selain memang merupakan menu khas daerah Sumbawa.
Bagi anda yang hendak menikmati alam bawah laut dan menggemari snorkeling atau diving, pulau Moyo menawarkan keindahan terumbu karang yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Bahkan titik penyelaman bisa kita capai tanpa harus jauh jauh dari garis pantai. Banyaknya wisatawan lokal maupun internasional yang datang berkunjung, bahkan ada beberapa turis mancanegara yg setiap tahunnya langganan hadir di pulau ini, adalah bukti sahih bila keindahan alam bawah laut pulau ini tak kalah pamor dengan daerah lain.
Tak jauh dari desa Labuhan Haji ada sebuah atol dimana kita bisa melakukan aktifitas snorkeling dan diving. Penduduk sekitar menamakan atol ini dengan sebutan Takat. Keindahan terumbu karang dan ragam komunitas ikan di Takat jangan diragukan. Terumbu karang disana terhitung sehat dan belum tersentuh tangan-tangan jahil. Beraktifitas di gugusan pasir yang hanya muncul pada saat air laut surut sungguh sebuah pengalaman unik tentunya.
Bagi anda yang hendak menikmati keindahan alam, apa yang ditawarkan alam pulau Moyo bisa jadi akan membuat anda amat terkesan. Terutama anda yang ingin jauh dari hiruk pikuk suasana perkotaan. Alam yang asri dan asli sungguh tak hanya menyejukkan mata tapi juga membuat hati terasa damai.
Yang cukup spektakuler adalah air terjun Mata Jitu. Air terjun yang dapat ditempuh dengan kendaraan ojek motor selama 15-20 menit dari desa Labuhan Haji ini tak pelak jadi andalan wisata pulau Moyo. Dengan warna air yang kehijauan, air terjun yang konon pernah disambangi oleh mendiang Lady Diana ini mampu membuat kita terbius akan keindahannya.
Air terjun ini tak terlalu tinggi, hanya sekitar 10 meter dan lebar tak lebih dari 20 meter. Tapi yang menarik adalah kolam kolam dibawahnya yang membentuk tingkatan berbeda. Begitu artistik, begitu menarik. Selain Mata Jitu ada lagi air terjun yang jaraknya hanya 10 menit bila ditempuh dengan kendaraan motor dari desa Labuhan Haji. Meski tak seindah Mata Jitu, tapi air terjun Diwu Mbai tetap menawarkan sensasi tersendiri. Adanya sulur pohon yang menjuntai tepat diatas air terjun ini kerap dimanfaatkan baik oleh penduduk ataupun pengunjung untuk berayun ayun sebelum terjun ke air yang jernih.
Tempat lain yang memanjakan kita untuk melarikan diri dari kepenatan sehari hari adalah Tanjung Pasir, Poto Jarum, Brang Sedo, Ai Manis dan Tanjung Boko. Beberapa dari sekian puluh titik di pulau Moyo yang menawarkan keindahan bak surgawi. Pasir yang putih, pantai yang landai, ombak yang tenang dan lingkungan yang alami dapat kita nikmati dengan leluasa tanpa gangguan pedagang asongan. Air yang jernih dan gugusan karang serta beraneka ragam jenis ikan yang cantik akan memanjakan acara snorkeling disini.
Tanpa pedagang asongan? Ya, karena lokasi ini jarang sekali didatangi wisatawan. Kalaupun ada hanya beberapa orang saja. Tempat ini lebih sering disinggahi nelayan yang beristirahat atau menghindar dari cuaca buruk. Bagi anda yang ingin berlibur jauh dari hiruk pikuk suasana ramai, pulau Moyo tampaknya pantas untuk mengisi daftar tujuan berlibur anda.
Bila anda ingin melewati hari dengan mengamati satwa, silahkan anda ke daerah Raja Sua. Disana ada savanna yang memungkinkan anda untuk mengamati atau bahkan mengabadikannya dengan kamera. Tapi sayang disana belum ada menara pengintai agar kita bisa lebih leluasa lagi mengamati satwa , tentunya kita juga akan lebih merasa aman dan nyaman.
Masih tentang satwa, ada juga gua kelelawar yang bisa kita kunjungi. Gua ini terjaga dari tangan tangan jahil sebagaimana kondisi hutan tropis pulau ini yang relatif masih asli.
Untuk penggemar fotografi yang mau berkunjung kesini, bersiaplah untuk membawa Compact Flash, ataupun SD Card yang besar kapasitas memorinya . Artinya setiap sudut pulau Moyo begitu fotogenik, sehingga bisa jadi anda akan cepat kehabisan memori di kamera anda. Jangan lupa pula untuk membawa serta filter Circular Polarizer. Sebagaimana lazimnya pantai, sudah pasti kita akan berurusan dengan highlight yang tinggi. Dan untuk mengabadikan keindahan air terjun Mata Jitu, sebaiknya filter Natural Density dan tripod yang kokoh jangan anda tinggalkan dirumah.
Untuk mencapai pulau Moyo, sebelumnya kita harus ke kota kabupaten Sumbawa Besar. Dari sebuah desa nelayan bernama Aik Bari kita dapat menyewa boat. Bila anda tak mau repot repot ke Aik Bari yang memakan waktu sekitar satu jam dari kota Sumbawa Besar, ada sebuah cottage di pinggir kota Sumbawa Besar yang bisa menyiapkan boat dipantai dimana cottage itu berada. Tentunya dengan syarat kita menginap di hotel tersebut. Kencana Cottage yang berada di KM 11 Jalan Raya Poto Tano-Sumbawa ini terbilang sebagai tempat menginap yang paling representatif. Keberadaannya yang tepat berada dipantai sebuah teluk kecil dan dinaungi oleh pohon-pohon yang rindang sungguh memanjakan pengunjungnya.
Beberapa waktu lalu untuk ke Sumbawa Besar , kita dapat mencapainya dengan pesawat dari Mataram, Lombok. Namun saat ini kedua maskapai penerbangan yang beroperasi disana telah menghentikan pelayanannya karena alasan non teknis. Padahal dengan waktu tempuh yang hanya sekitar 30 menit, waktu perjalanan kita tentunya akan jauh lebih singkat. Tapi bila kita cukup waktu dan mau menempuh jalan darat, kita bisa memakai jasa Travel dari Mataram. Waktu tempuh dari Mataram ke Sumbawa Besar sekitar 6 jam saja. Masing-masing travel yang ada di Mataram menyediakan tiga waktu keberangkatan setiap harinya
Pulau Moyo memang belum menjadi tujuan utama wisatawan. Meski relatif dekat dengan pulau Bali yang menjadi ikon wisata Indonesia. Seperti biasa, kendala sarana dan prasarana juga menjadi faktor penghambat bagi pulau yang berpenduduk 1944 jiwa ini untuk berkembang. Namun demikian, melihat potensi wisata yang ada, serta kedekatan baik secara geografis maupun histories dengan pulau Bali, dapatlah kita berharap berkah pulau Bali sebagai surga wisata akan menular ke Sumbawa, terlebih ke pulau Moyo.
Naskah dan Foto : Erry M Subhan












Sabtu, 28 Maret 2015
Langganan:
Postingan (Atom)